To be free is not merely to cast off one’s chains, but to live in a way that respects and enhances the freedom of others
Robin Sharma
Saya percaya apa yang kita lakukan untuk orang lain, akan kembali kepada kita dengan cara apa pun. Termasuk hal yang sangat kecil dan tak kasat mata: usaha. Saya tanamkan benar-benar hal itu termasuk ketika saya mengajar siswa-siswa Jepang yang sedang mengikuti program belajar bahasa Indonesia. Saya akui pengalaman mengajar bahasa Indonesia bagi orang Jepang memang belum seberapa, saya pun tak mahir berbahasa Jepang, tetapi saya selalu mengusahakan yang terbaik bagi siswa-siswa, mencoba mencari cara yang paling mudah dimengerti untuk menjelaskan sesuatu, memberikan kesempatan para siswa untuk mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari saya, seorang native Indonesian, dan membuat suasana kelas menyenangkan.
Yang saya pahami, usaha-usaha kita melakukan hal yang terbaik untuk orang lain, tidak selalu kembali kepada kita melalui orang-orang tersebut saja, tetapi bisa juga melalui orang yang lain. Itu kenapa, walaupun selalu mengusahakan yang terbaik untuk siswa-siswa, saya menyadari tidak semua siswa akan “menangkap” maksud saya, tidak semua siswa merespon positif usaha saya. Hal itu adalah hal yang wajar, dan tidak apa-apa. Toh, kondisi fisik dan mental masing-masing siswa juga berbeda. Kadang, ada siswa yang menurut saya, karena kesalahan sendiri tidak bisa memahami perintah suatu tugas, kemudian dia sedikit terasa “menyalahkan” saya dan membuat suasana kelas terasa tidak nyaman. Saya benar-benar memahami fluktuasi mood kelas dan tidak berharap semua siswa bisa memahaminya.
Tetapi yang terjadi kemarin, saya merasa sangat terberkahi. Seperti biasa, saya awali kelas dengan menyampaikan kondisi fisik dan mental saya. Hari itu, fisik saya sedang kurang baik, karena malam sebelumnya saya kurang tidur dan banyak menangis 🙂 Saya sampaikan kondisi fisik dan mental saya, karena saya meminta mereka memaklumi kalau-kalau di tengah pelajaran saya mungkin perlu pergi ke toilet, atau minum, atau perlu diam sesaat (karena tenggorokan sakit XD). Yang tidak saya sadari, salah seorang siswa yang sangat aktif, Mbak Y, berusaha untuk berbagi cerita yang lucu dengan maksud mempraktikkan bahasa Indonesia sekaligus mengangkat mood saya. It’s just a small gesture tapi membuat saya terhenyak dan tersadar (walau nggak semua siswa, lho!) they listen to you! Kalau saya pikir-pikir lagi, siswa-siswa yang lain pun “benar-benar” memperhatikan hal-hal kecil seperti itu. Hal yang sangat menarik dari kepribadian orang Jepang. Mereka sangat ekspresif tetapi di sisi lain mereka juga sangat tertutup. Tanpa dibuat-buat, saya berhasil ngakak mendengar cerita lucu dari Mbak Y benar-benar cerita baru dan membuat mood saya terangkat.
“Cerita saya tentang lansia yang lucu” katanya memulai cerita. Saya pikir dia akan bercerita tentang cerita lucu dalam dongeng-dongeng, lha dia pakai kata “lansia” XD ternyata setelah dia melanjutkan, saya baru menyadari ceritanya tentang PM Suga.. XD OMG. Tawa saya langsung meledak. Mbak Y tidak menyadari, orang Indonesia tidak pernah menyebut pejabat, orang penting, apalagi kepala pemerintahan suatu negara dengan sebutan lansia. “Bu Rizky apakah tahu tentang Reiwa Ojisan (Paman Reiwa)?” tanyanya, saya benar-benar tidak tahu karena jarang mengikuti berita-berita atau bahkan melihat TV. Jadi, ternyata PM Suga ini dulu yang mengumumkan penamaan zaman baru Jepang, Reiwa. Katanya, PM Suga ini sudah berlatih mati-matian untuk mengumumkan dan berlatih membawa papan penamaan dengan latihan mengangkat barang-barang berat supaya tidak gemetar. Hahaha…
Setelah saya berhasil ngakak dengan cerita Mbak Y, Mbak Sk meminta waktu untuk bercerita juga. Sebelum bercerita, dia meminta maaf karena ceritanya mungkin sedikit murung. Waduh saya agak deg-degan, karena kadang-kadang mereka bertanya hal-hal yang suram yang membuat saya kadang bingung menyampaikannya. Tetapi, ternyata tidak sesuram yang saya bayangkan, Mbak Sk justru memberikan ulasan sebuah buku yang bagus. Judulnya Jangan Merasa Bertanggung Jawab atas Tragedi Dunia. Dari rangkuman Mbak Sk ini, penulis menyarankan untuk membatasi berita-berita yang dibaca, kemudian bekerja keras, menghasilkan uang dan memberikan donasi kepada yang membutuhkan, dan yang paling penting sebagai seorang individu kita cukup melakukan segala sesuatu yang terbaik bagi diri kita sendiri dulu. Saya lupa memastikan apakah buku ini terjemahan dari Jepang atau buku bahasa Indonesia, karena mulut saya yang suka omong ini langsung menyambut dengan komentar 🙂 Tapi dari ulasan buku Mbak Sk saya juga jadi ingin membaca.
Walaupun hari itu saya lihat banyak wajah-wajah siswa kebingungan XD mendengarkan penjelasan saya, beberapa siswa terlihat menguap, tetapi tidak ada siswa yang terkantuk-kantuk seperti hari-hari sebelumnya. Saya tidak menilai kesuksesan saya mengajar hanya dari kemampuan siswa saja dalam berbahasa Indonesia karena itu bisa dinilai dari banyak faktor dan proses yang panjang: usaha siswa-siswa itu sendiri, minat, pelajaran dari sensei-sensei yang lain, dll. Saya menilai lebih ke hal yang paling mendasar. Apakah siswa-siswa merasa fun berada di kelas saya? Apakah siswa-siswa termotivasi untuk bertumbuh? Itu saja dulu. Kalau dua itu sudah saya usahakan, kemampuan mereka berbahasa Indonesia will fall into place.. Melihat wajah-wajah yang kebingungan tadi, saya menilai pengajaran saya 75, lah!
Tapi saya menilai usaha saya 99! Jadi walaupun sedikit agak kecewa, tetapi saya menghormati dan menghargai usaha saya sendiri. Seperti biasa, hari Rabu saya selalu berjalan gontai pulang, kelelahan, tetapi semangat saya selalu terpoles. Minggu depan, saya akan bersemangat lagi!