Skip navigation

To be free is not merely to cast off one’s chains, but to live in a way that respects and enhances the freedom of others

Robin Sharma

Saya percaya apa yang kita lakukan untuk orang lain, akan kembali kepada kita dengan cara apa pun. Termasuk hal yang sangat kecil dan tak kasat mata: usaha. Saya tanamkan benar-benar hal itu termasuk ketika saya mengajar siswa-siswa Jepang yang sedang mengikuti program belajar bahasa Indonesia. Saya akui pengalaman mengajar bahasa Indonesia bagi orang Jepang memang belum seberapa, saya pun tak mahir berbahasa Jepang, tetapi saya selalu mengusahakan yang terbaik bagi siswa-siswa, mencoba mencari cara yang paling mudah dimengerti untuk menjelaskan sesuatu, memberikan kesempatan para siswa untuk mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari saya, seorang native Indonesian, dan membuat suasana kelas menyenangkan.

Yang saya pahami, usaha-usaha kita melakukan hal yang terbaik untuk orang lain, tidak selalu kembali kepada kita melalui orang-orang tersebut saja, tetapi bisa juga melalui orang yang lain. Itu kenapa, walaupun selalu mengusahakan yang terbaik untuk siswa-siswa, saya menyadari tidak semua siswa akan “menangkap” maksud saya, tidak semua siswa merespon positif usaha saya. Hal itu adalah hal yang wajar, dan tidak apa-apa. Toh, kondisi fisik dan mental masing-masing siswa juga berbeda. Kadang, ada siswa yang menurut saya, karena kesalahan sendiri tidak bisa memahami perintah suatu tugas, kemudian dia sedikit terasa “menyalahkan” saya dan membuat suasana kelas terasa tidak nyaman. Saya benar-benar memahami fluktuasi mood kelas dan tidak berharap semua siswa bisa memahaminya.

Tetapi yang terjadi kemarin, saya merasa sangat terberkahi. Seperti biasa, saya awali kelas dengan menyampaikan kondisi fisik dan mental saya. Hari itu, fisik saya sedang kurang baik, karena malam sebelumnya saya kurang tidur dan banyak menangis 🙂 Saya sampaikan kondisi fisik dan mental saya, karena saya meminta mereka memaklumi kalau-kalau di tengah pelajaran saya mungkin perlu pergi ke toilet, atau minum, atau perlu diam sesaat (karena tenggorokan sakit XD). Yang tidak saya sadari, salah seorang siswa yang sangat aktif, Mbak Y, berusaha untuk berbagi cerita yang lucu dengan maksud mempraktikkan bahasa Indonesia sekaligus mengangkat mood saya. It’s just a small gesture tapi membuat saya terhenyak dan tersadar (walau nggak semua siswa, lho!) they listen to you! Kalau saya pikir-pikir lagi, siswa-siswa yang lain pun “benar-benar” memperhatikan hal-hal kecil seperti itu. Hal yang sangat menarik dari kepribadian orang Jepang. Mereka sangat ekspresif tetapi di sisi lain mereka juga sangat tertutup. Tanpa dibuat-buat, saya berhasil ngakak mendengar cerita lucu dari Mbak Y benar-benar cerita baru dan membuat mood saya terangkat.

“Cerita saya tentang lansia yang lucu” katanya memulai cerita. Saya pikir dia akan bercerita tentang cerita lucu dalam dongeng-dongeng, lha dia pakai kata “lansia” XD ternyata setelah dia melanjutkan, saya baru menyadari ceritanya tentang PM Suga.. XD OMG. Tawa saya langsung meledak. Mbak Y tidak menyadari, orang Indonesia tidak pernah menyebut pejabat, orang penting, apalagi kepala pemerintahan suatu negara dengan sebutan lansia. “Bu Rizky apakah tahu tentang Reiwa Ojisan (Paman Reiwa)?” tanyanya, saya benar-benar tidak tahu karena jarang mengikuti berita-berita atau bahkan melihat TV. Jadi, ternyata PM Suga ini dulu yang mengumumkan penamaan zaman baru Jepang, Reiwa. Katanya, PM Suga ini sudah berlatih mati-matian untuk mengumumkan dan berlatih membawa papan penamaan dengan latihan mengangkat barang-barang berat supaya tidak gemetar. Hahaha…

Setelah saya berhasil ngakak dengan cerita Mbak Y, Mbak Sk meminta waktu untuk bercerita juga. Sebelum bercerita, dia meminta maaf karena ceritanya mungkin sedikit murung. Waduh saya agak deg-degan, karena kadang-kadang mereka bertanya hal-hal yang suram yang membuat saya kadang bingung menyampaikannya. Tetapi, ternyata tidak sesuram yang saya bayangkan, Mbak Sk justru memberikan ulasan sebuah buku yang bagus. Judulnya Jangan Merasa Bertanggung Jawab atas Tragedi Dunia. Dari rangkuman Mbak Sk ini, penulis menyarankan untuk membatasi berita-berita yang dibaca, kemudian bekerja keras, menghasilkan uang dan memberikan donasi kepada yang membutuhkan, dan yang paling penting sebagai seorang individu kita cukup melakukan segala sesuatu yang terbaik bagi diri kita sendiri dulu. Saya lupa memastikan apakah buku ini terjemahan dari Jepang atau buku bahasa Indonesia, karena mulut saya yang suka omong ini langsung menyambut dengan komentar 🙂 Tapi dari ulasan buku Mbak Sk saya juga jadi ingin membaca.

Walaupun hari itu saya lihat banyak wajah-wajah siswa kebingungan XD mendengarkan penjelasan saya, beberapa siswa terlihat menguap, tetapi tidak ada siswa yang terkantuk-kantuk seperti hari-hari sebelumnya. Saya tidak menilai kesuksesan saya mengajar hanya dari kemampuan siswa saja dalam berbahasa Indonesia karena itu bisa dinilai dari banyak faktor dan proses yang panjang: usaha siswa-siswa itu sendiri, minat, pelajaran dari sensei-sensei yang lain, dll. Saya menilai lebih ke hal yang paling mendasar. Apakah siswa-siswa merasa fun berada di kelas saya? Apakah siswa-siswa termotivasi untuk bertumbuh? Itu saja dulu. Kalau dua itu sudah saya usahakan, kemampuan mereka berbahasa Indonesia will fall into place.. Melihat wajah-wajah yang kebingungan tadi, saya menilai pengajaran saya 75, lah!

Tapi saya menilai usaha saya 99! Jadi walaupun sedikit agak kecewa, tetapi saya menghormati dan menghargai usaha saya sendiri. Seperti biasa, hari Rabu saya selalu berjalan gontai pulang, kelelahan, tetapi semangat saya selalu terpoles. Minggu depan, saya akan bersemangat lagi!

Max Havelaar; The Coffee Auctions of the Dutch Trading Company karangan Multatuli atau Douwes Dekker ini adalah buku yang saya pilih untuk menginspirasi saya sekaligus sebagai komitmen saya menyemarakkan kemerdekaan Indonesia yang ke-76. Walaupun telat byanget hampir satu purnama berlalu, tetapi apa boleh buat, di tengah-tengah rutinitas dan sedang maraknya isu-isu dunia membuat saya harus berhenti sejenak untuk membaca buku ini, dan baru hari ini saya selesaikan. Saya pilih versi bahasa Inggrisnya karena ulasan-ulasan dari beberapa pembaca yang menilai terjemahan bahasa Inggris lebih mudah dipahami daripada bahasa Indonesianya.

Saya kurang tahu pelajaran sejarah SD, SMP, atau SMA generasi kini, tetapi pada zaman saya (15~20 tahunan yang lalu), Max Havelaar, Eduard Douwes Dekker atau nama penanya, Multatuli, sering muncul dalam pembahasan gerakan kebangkitan nasional. Yang membuat saya heran setelah selesai membaca adalah tidak adanya inisiatif dari penyusun pendidikan/kurikulum pada masa itu untuk mengharuskan siswa-siswa membaca buku-buku fiksi tentang sejarah atau sastra-sastra karya anak bangsa. Aneh sekali, karena saya besar pada masa orde baru, di mana tema nasionalisme sedang diusung, tapi tampaknya “membaca” bukan salah satu metode yang dipilih untuk menyebarkan nasionalisme kala itu.

Terlalu susah dimengerti? Terlalu berat? Beban pelajaran terlalu banyak? Atau apa? Saya ingat, semasa kecil, saya merasa iri ketika membaca buku-buku terjemahan Enid Blyton ttg Malory Towers, dsb, yang mengisahkan hukuman atau mata pelajaran yang mengharuskan siswa-siswa (SD bahkan!) untuk membaca, mengutip, dan menghafalkan sastra-sastra klasik. Atau si kecil hanwen dalam film Legenda Ular Putih yang menghafalkan sajak-sajak sembari memutar-mutar kepalanya, kenapa tidak ada hal semacam itu di Indonesia? Pertimbangan apa ya, yang diambil sehingga tidak mewajibkan membaca karya-karya sastra pada zaman itu? Jangan-jangan, ada kekhawatiran pemerintah pada otak orang-orang Indonesia yang terjejali ide pemberontakan, nasionalisme yang sebenarnya, yang mungkin bisa tergali dari buku-buku?

Yang saya tahu, Max Havelaar berisi tentang gugatan seorang WN Belanda terhadap eksploitasi kekayaan yang dilakukan pemerintahnya sendiri (Belanda). Yang saya dengar, Douwes Dekker ini adalah sahabat Indonesia, yang membela Indonesia, dan berpikir tentang kesejahteraan orang-orang Indonesia (yang kala itu disebut Hindia). Terus terang, membaca sendiri Max Havelaar ini, membuat saya terperanjat. Ternyata si Max Havelaar, tokoh yang diceritakan dalam buku ini, tidak hanya menggugat eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintahnya!!! Buku ini tidak hanya tentang penjajahan Belanda!

Bagi sebagian orang, gaya bahasa Douwes Dekker ini mungkin terlalu lambat, karena masuknya penggambaran penjajahan Belanda dan kecurangannya baru mulai diceritakan setelah sekitar halaman 50an. Tapi saya maklum, penulis saat itu berhadapan dengan bangsa besar Belanda (eropa) yang belum familier dengan eksploitasi yang dilakukan pemerintah kolonial. Penulis juga memosisikan dirinya pada orang Belanda dari kalangan menengah ke atas yang tidak tahu menahu bahwa pemerintah Belanda mengeruk Hindia Timur demi kepentingan bangsanya sendiri. Saya bisa mengerti keraguan yang dirasakan oleh tokoh utama, Mr. Drystubble, yang mungkin pada zaman ini saya rasakan: ketidakadilan terhadap saudara-saudara sebangsa yang terletak di timur, atau minoritas. Saya pasti merasa ragu, karena saya tidak melihat secara langsung apa yang pemerintah pusat sudah lakukan kepada saudara-saudara saya di belahan timur.

Buku ini tidak hanya membuat saya hanyut dalam romantisme sajak-sajak kerinduan Saudjah kepada Adinda, saya juga hanyut dalam kemarahan menggelegak yang dirasakan Max Havelaar atas penjajahan yang diderita kaum pribumi kala itu, benar-benar saya memahami kenapa buku ini bisa menjungkirbalikkan pemerintah Belanda atas Hindia Timur, memaksa pemerintah Belanda melakukan “pencitraan” kepada dunia atas kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya, sehingga Pramoedya Ananta Toer pernah berkata bahwa buku ini “membunuh kolonialisme”. Buku ini juga sering disebut-sebut sebagai buku yang membuat masyarakat dunia berpikir kekejaman perbudakan yang dikisahkan dalam Tom Sawyer.

Kalau buku ini sampai sedemikian kuatnya meng-gonjang-ganjing kolonialisme Eropa atas Hindia Timur, kenapa buku ini tidak diwajibkan kepada bangsa Indonesia untuk dibaca, ditelaah, diteliti, dll? Kalau kita baca-baca lagi dalam ulasan-ulasan yg ditulis (bahkan di wikipedia), tidak semua isinya ditonjolkan. Saya kurang tahu versi bahasa Indonesianya, lain kali akan saya coba baca, tetapi jangan-jangan keputusan saya memilih versi bahasa Inggris adalah keputusan yang tepat? (Suudzon saya, ada yang dikurangi di versi Indonesia? Walau kayanya nggak mungkin deh, terjemahan bahasa Indonesianya ada yang disensor? Nggak mungkin, kan, ya?)

Menggugat bangsawan pada masa itu.

Ya. Bangsawan Jawa (karena latar belakangnya Jawa, ya!) Alasan awal Max Havelar yang menduduki posisi Asisten Resident (resident & asisten adalah WN Belanda ditunjuk oleh pemerintah Belanda, sedangkan Regent adalah posisi yang diberikan kepada Bangsawan/keluarga Raja jawa, sebagai strategi penguasaan rakyat) adalah melaporkan dan menggugat perlakuan tidak adil Sang Regent Lebak, Raden Adhipati Karta Natta Nagara, atas kecurangan yang dilakukan terhadap rakyat-rakyatnya. Max Havelaar melaporkan Sang Regent kepada atasan-atasan yang dia kira jujur dan adil. Tidak dipungkiri, pemerintah Belanda juga berperan serta dalam eksploitasi tanah dan rakyat Jawa, menurut Max Havelaar. Kongkalingkong apa yang dilakukan pihak-pihak yang dilaporkan oleh Max Havelaar?

Merampas harta rakyat semena-mena

Max Havelaar, pada intinya, adalah melaporkan Sang Regent yang bersikap semena-mena kepada rakyat. Karena keinginan para bangsawan yang harus membiayai kehidupannya yang serba mewah, Sang Regent sering merampas harta rakyat dengan sewenang-wenang. Rakyat yang tidak berani melapor, yang nrimo, sering kemudian justru semakin sial kehidupannya, saking miskin dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Banyak rakyat yang diam-diam menyelinap dari belakang kediaman Max Havelaar untuk menyampaikan keluhan-keluhan yang dirasakannya terhadap ketidakadilan penguasa (Regent & anak menantunya). Mereka mengeluhkan tentang hewan ternak yang hilang dalam jumlah yang besar. Berbicara tentang hewan ternak, Max mengangkat cerita tentang Saudja dan Adinda yang cerita cintanya terpisah karena kesewenang-wenangan (tidak hanya) Belanda dan Bangsawan Jawa masa itu yang merampas hewan ternak untuk kepentingan Sang Regent pribadi. Saya ikut merasa tersinggung juga, ketika Max Havelaar kira-kita mengatakan bahwa pembaca mungkin akan mengira sajak-sajak Saudjah dan Adinda adalah karangan lebay belaka, tetapi itulah fakta yang sebenar-benarnya. Max juga menyinggung bahwa selama ini orang Belanda mungkin menganggap bahwa kaum pribumi Hindia Timur bukanlah orang-orang yang punya perasaan, tidak punya sentimen atau romantisme. Dengan kata lain, bagi orang Eropa, pribumi mungkin bukan manusia.

Gotong-royong dan kesewenangan terhadap rakyat kecil?

Max Havelaar juga mengungkit, untuk menyuburkan dan mengelola kebun/sawah-sawah para bangsawan, para bangsawan tersebut memaksa rakyat untuk bekerja tanpa diberi upah. Rakyat yang tidak bisa menolak, terpaksa banting tulang mengurus sawah-sawah bangsawan dan menelantarkan ladang mereka sendiri. Tidak hanya itu, para bangsawan juga memalsukan kwitansi pembayaran upah yang “seharusnya” dibayarkan kepada para pekerja tersebut.

Dari bahasan ini, saya sedikit mikir. Saya ingat bahwa abdi dalem dibayar dengan jumlah yang sangat sedikit (mungkin kadang-kadang tidak dibayar?). Bagi mereka, hal itu sudah menjadi kebanggaan, bisa melayani Raja dengan nrima. Itu yang sudah mengakar kuat dalam budaya Jawa.

Bisa jadi itulah salah satu sebabnya “jasa” di Indonesia dihargai rendah. Saya ingat, satu dekade lalu, sebelum kata “Pembantu RT” dipermanis menjadi “Asisten RT”, hak-hak mereka sangat terpinggirkan. Parambak-mbak tidak jarang mendapatkan omelan dari parandoro kalau meminta libur, minta istirahat, dll yang dianggap kemewahan yang tidak boleh diterima pembantu.

Lha.. parandoro itu mikir tentang kesejahteraan abdi dalem, PRT, dan keluarganya nggak je? Semisal, dia kerja banting tulang untuk bosnya, terus nggak digaji dengan layak, apa ya mau? Mungkin itu juga yang membuat para pekerja kasar disepelekan di Indonesia, dianggap remeh, dikiranya pekerja kasar yang mengabdi dengan sungguh-sungguh itu tidak memiliki keluarga, mimpi, cerita cinta, dll. Tidak dimanusiakan dengan benar-benar. Dengan dalih sudah dianggap seperti keluarga sendiri jadi para majikan semena-mena kasih gaji atau tidak. Bisa jadi..

Hal lain yang diungkit Max adalah ketulusan rakyat Jawa pada prinsip gotong royong. Pada zaman itu digambarkan, ketika alun-alun suatu wilayah kekuasaan raja/bangsawan tampak tidak terawat, para rakyat akan merasa malu. Karena mereka tidak mau nama pimpinan mereka tercoreng sebab alun-alun yg tidak terawat, mereka bergotong-royong merapikan alun-alun bersama tanpa imbalan apapun. Prinsip itu yang dimanfaatkan oleh para bangsawan dan diadopsi oleh pemerintah kolonial Belanda dalam memperlakukan rakyat Jawa.

Kehidupan Max Havelaar menjadi sengsara, dicopot dari jabatan, dipulangkan ke negara asalnya tanpa kekayaan, karena gugatannya kepada Sang Regent.

Eduard Douwes Dekker, yang pada bagian akhir buku muncul sebagai Multatuli, menekankan bahwa semua yang dia tulis adalah karangan. Akan tetapi, dia meyakinkan bahwa karangan itu berdasarkan pada pengalaman dan apa yang dia lihat di Hindia Timur. Multatuli bahkan menantang pemerintahannya sendiri dan masyarakat Eropa yang dimanjakan hasil eksploitasi Hindia Timur untuk membuktikan fakta yang sebaliknya, kalau bukunya tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi tidak pernah ada pembuktian dari pemerintah kolonial.

Banyak sekali hal yang ingin saya sangkut-pautkan dari apa yang saya baca dengan fakta masa kini Indonesia. Akan tetapi, kelemahan saya dalam hal sejarah, ketidakmampuan saya menjabarkan dengan runut hal-hal tersebut mengurungkan niat saya. Apalagi, saat ini saya sedang menganut prinsip yang penting menyelesaikan apa yang saya mulai. Kalau terlalu panjang, saya khawatir tulisan ini tidak saya selesaikan juga. :p

Yang penting saya terbitkan dulu, edit belakangan. Tulisan saya ini juga terbuka untuk diskusi dari semua pembaca yang saya yakin lebih banyak wawasannya daripada saya.

Demikian dan seterusnya.

Tokyo, Odakyu line. 28 Agustus 2021. 7:16 AM.

Time flies!

Tidak terasa, sudah 7 bulan saya tinggal di Jepang. Belum sepenuhnya berjuang mati-matian seperti teman-teman atau senior-senior saya, tetapi setidaknya saya sudah mencicipi kenikmatan makna “berusaha”.

7 bulan saya di Jepang, perlahan-lahan mulai mengerti segala sesuatunya. Tidak semua tentu saja, (diperlukan waktu seumur hidup untuk bisa mengerti semuanya) tetapi sedikit demi sedikit bagai rahasia, mulai terkuak :D. Bulan-bulan pertama kedatangan saya di Jepang, saya merasa seperti hidup di planet, menjadi orang asing. Saya tidak mengerti pembicaraan orang-orang yang berada di sekitar saya, tidak mampu membaca bahkan menebak kanji-kanji yang bertebaran di papan-papan di sepanjang jalan. Sekarang saya seperti balita yang belajar berbicara, menikmati perasaan luar biasa ketika saya mampu membaca kanji dan menebak maknanya, berbicara dengan orang Jepang, dan memahami apa yang kami bicarakan. Perasaan yang mengasyikkan.

Baru 7 bulan, tetapi sudah begitu banyak saya mengalami pengalaman-pengalaman berharga. Pengalaman berharga yang akan terus saya simpan dalam otak saya sebagai pengingat dan penanda. Pengalaman buruk menjadi guideline bagi saya, pengalaman baik menjadi penyemangat. Semua pengalaman tersebut akan selalu membuat saya bersyukur kepada Tuhan YME.

Tidak semua orang mampu dan berani memulai segalanya dari nol, tetapi saya harus. Saya tidak bertanya kepada diri saya sendiri, “apakah saya mampu?”, saya hanya meyakini bahwa ini jalan yang harus dilalui, dengan niat yang baik, semangat dan kerja keras.

Do the best, Let God Handle the rest.

Tidak pernah saya merasa berbangga hati atau merasa saya lebih berani, ketika orang-orang memuji keberanian saya. Karena saya tahu, mereka juga bisa melakukan seperti apa yang saya lakukan, seandainya mereka mempercayai diri mereka sendiri. Dan keyakinan saya kepada Tuhan YME, mengantarkan saya ke Jepang dengan berbagai jalan yang luar biasa. Bantuan keluarga, bantuan orang-orang yang saya kasih dan saya cintai, serta bantuan dari orang-orang yang baru saya kenal. Tidak akan pernah saya melupakannya. Saya bahkan akan terus mengingat nama-nama mereka di benak saya. Karena pertolongan Tuhan melalui mereka, begitu membantu selama 7 bulan saya di Jepang.

Orang Jawa percaya, angka 7 adalah angka pertolongan. Karena dalam bahasa Jawa tujuh atau pitu merupakan simbol dari pitulungan atau pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Saya orang Jawa, tetapi 7 bulan ini saya anggap sebagai titik awal saya memulai semuanya dengan lebih bersemangat. Sudah harus saya letakkan semua keluh kesah saya, sudah harus saya fokuskan energi saya untuk mencapai apa yang saya cita-citakan.

7 bulan saya tinggal di Jepang, saya belum mencapai apa yang saya cita-citakan, saya sedang memulainya. Apakah saya akan menjadi orang hebat atau tidak, saya belum tahu, tetapi saya percayakan nasib saya kepada-Nya. Saya hanya akan menjalani dengan penuh semangat, niat baik, hati bersih, prioritas dan kerja keras. Saya yakin, entah saya menjadi orang hebat atau tidak, dengan bekal keyakinan saya tersebut, saya akan berbahagia.

Que sera-sera

Whatever will be, will be

The future is not us to see

Que sera-sera

     Hal yg remeh temeh seperti beberes rumah, cara dan alat2 pendukungnya ternyata di Jepang beda dengan di Indonesia lho! Pertama kali saya yang nggak berpengalaman ini membantu beberes di Jepang, saya sempat mencari2 sapu ijuk.
     Beberes memang bukan masalah besar tapi menarik perhatian saya, krn hal kecil seperti beberes rumah menjadi berbeda krn produk budaya yg berbeda.
     Kondisi alam dan geografis suatu bangsa/negara biasanya menjadi pengaruh terbesar budaya dan segala pernak-perniknya. Jepang dengan empat musimnya serta keunikan yang berbeda dari negara empat musim lainnya: gempa, membuatnya memiliki struktur rumah dan bangunan yang unik.
     Rumah-rumah di Jepang biasanya dibangun dengan dinding berbahan washi atau semacam kertas yg tebal dan kuat, bukan dinding semen seperti di Indonesia. Lantainya adalah lantai kayu, parquet, rumah di Indonesia sudah banyak juga yang menggunakan lantai semacam ini. Daun pintu dan jendelanya bekerja dengan cara digeserkan. Di ruang tamu atau ruang tidur terdapat ruangan kecil seperti gudang yang digunakan untuk menyimpan barang-barang yang tidak terpakai di musim yang sedang berlangsung.
     Kalau penasaran dengan ruangan ini, cobalah ingat-ingat ruangan yg digunakan Doraemon di kamar Nobita. Kalau musim yang sedang berlangsung adalah musim panas, maka ruangan ini digunakan untuk menyimpan baju dan barang2 keperluan musim dingin.
     Dari musim dingin hingga musim semi, biasanya lantai diberi alas semacam karpet, karena cuaca yang dingin. Untuk membersihkan karpet biasanya menggunakan vaccum cleaner dengan baterai, atau sistem recharging. Tapi itu tidak unik, yang unik, mereka menggunakan alat seperti rol cat dengan lapisan kertas yang lengket seperti selotip.

image

     Alat di atas digunakan untuk membersihkan karpet, tatami, atau bed. Cara pakainya, alat ini tinggal diroll di atas karpet, karena lengket, debu dan kotoran pun menempel di kertas. Ada juga alat yg semacam ini, tetapi dipakai untuk mengambil serat2 kain yang rusak atau mengotori baju.

image

image

     Kalau kertas sudah penuh dengan kotoran, tinggal dicari garis potongannya, diambil bagian yg kotor, bersih deh. Walau asyik, tapi saya masih sering merasa miris. Dibandingkan dengan di Indonesia yang hanya menggunakan satu sapu untuk selamanya (yang bener?). Di Jepang, untuk membersihkan 2x2meter karpet, minimal saya harus 2x menyobek kertas tersebut. Sayang ya?
     Lantai parquet (bener gak?) dan lantai semacam-semen-tapi-aneh di Jepang diperlakukan secara khusus. Untuk mengepel lantai, orang Jepang menggunakan クイックワイプー (kuikuwaipuu-quick wiper) atau stik untuk lap pel. Eiits… jangan salah untuk memakai alat ini, kita harus menyediakan tisu basah ウエットシート (uettoshiito-wet sheet) untuk mengalasinya. Huhuhu merasa sayang banget kan, kalau mau ngepel lantai harus buang-buang banyak tisu basah? Tapi memang begitulah caranya beberes ala Jepang.

image

kuikkuwaipu

image

pas tisu basahnya habis, pake lap kain aja..

     ウエットシート ini biasanya juga dipakai untuk membersihkan meja atau kursi berbahan dasar kayu.
     Hehehehe seperti yang saya sampaikan sebelumnya, saya masih merasa miris untuk membuang2 kertas atau tisu basah hanya untuk keperluan beberes. Tapi saya lalu ingat, daur ulang dan sistem pengelolaan sampah di Jepang sangat bagus, jadi nggak merasa bersalah deh.
     Walaupun remeh, tapi asyik kan sedikit tahu tentang perbedaan-perbedaan antara Indonesia dan Jepang? Ini baru catatan saya di hari ke 46 tinggal di Jepang pun catatan saya tidak melewati proofreading sama sekali alias ketik langsung publish. Jadi, silakan diproofread..

終わり owari.

Saya serius! Benar-benar selama 43 hari saya tinggal di Jepang, terutama di daerah tempat saya tinggal, saya terlalu sering melihat orang-orang lanjut usia beraktifitas, berbaur dengan generasi mudanya. Memang kenyataannya, jumlah orang-orang lanjut usia di Jepang banyak, kan? Ingat-ingat pelajaran sosiologi di SMA deh (bagi yang belajar Sosiologi), Jepang memiliki piramida penduduk yang terbalik. Jumlah penduduk usia lanjutnya lebih banyak daripada jumlah penduduk usia produktif dan anak-anak. Di Indonesia, orang-orang lanjut usianya juga banyak lho hehe.. Tapi entah mengapa, begitu menginjak masa pensiun, atau setara dengan usia 60 tahun, orang-orang lansia tersebut menghilang tanpa jejak, dikubur budaya. Eh? Maksudnya?

Menurut informasi yang saya dapatkan (http://www.japantimes.co.jp/, 2013), sekitar 31,86 juta orang di Jepang berusia lebih dari 65 tahun. Jumlah tersebut adalah sekitar 25% dari jumlah penduduk Jepang. Sedangkan Indonesia, jumlah orang-orang lanjut usianya diperkirakan mencapai 11,34% dari total jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 (http://www.kemsos.go.id/, 2010). Memang kedua data ini tidak bisa dibandingkan karena waktu pengambilan data yang berbeda, jumlah populasi penduduk kedua negara yang berbeda dan bentuk populasinya yang juga berbeda. Akan tetapi, ada beberapa pendapat saya yang bisa dijadikan bahan diskusi atau sekedar mikir-mikir di waktu luang.

Boleh ya saya menyebut “para lansia”? sekedar mempermudah penulisan tanpa bermaksud merendahkan. Sudah banyak fakta yang menyebutkan bahwa orang Jepang memiliki tingkat life expectancy yang tinggi. Banyak yang beralasan karena makanan yang dikonsumsi sehat, karena life style mereka yang sehat, karena ofuro alias kebiasaan berendam dengan air panas, dan banyak alasan. Tetapi saya memiliki kesimpulan sendiri mengapa saya katakan Jepang, lautan lansia sedangkan Indonesia yang lansianya juga banyak, terkubur oleh budaya, yaitu definisi masing-masing bangsa mengenai lanjut usia itu sendiri. Seperti apa definisi lanjut usia di Jepang dan perbandingannya di Indonesia dari kacamata saya? Ini dia catatan saya di hari ke 43 saya di Jepang.

1. Mandiri, itu pasti!

Saya kurang tahu pasti umur para sesepuh2 yang setiap hari ‘melaut’ menjalani hari-hari di tengah kesibukan, akan tetapi rambut mereka yang sudah sepenuhnya memutih mungkin memberikan saya sedikit perkiraan. 60 tahun ke atas, mungkin. Professor saya saja umurnya sudah 65-an, yang lain 70-an! Mereka masih sibuk beraktifitas! Tidak hanya dosen saja, di beberapa mall yang saya datangi, mereka mempekerjakan wanita-wanita lanjut usia untuk menempati posisi kasir atau pelayan toko. Posisi yang di Indonesia kesannya harus diisi oleh wanita-wanita muda rupawan.

Secara di Jepang, hampir sama dengan budaya barat, setelah menginjak dewasa, anak-anak berpisah dari orang tuanya. Dan para orang tua Jepang tidak pernah berharap anak-anaknya akan berbakti kepada mereka dengan merawat mereka di masa tuanya. Jadi apa daya? Mereka harus memenuhi sendiri kebutuhan sehari-hari mereka. Di Jepang, tidak ada istilah ‘pembantu’, seperti yang diistilahkan orang-orang Indonesia, tidak ada pembantu murah yang akan membantu mereka siang dan malam. Memang, mereka dituntut oleh hidup untuk menjadi mandiri.

 

2. Selera Muda

Waktu yang lalu saya di kereta, saya tercengang (setiap hari tercengang juga sih, sebenarnya), ketika dari belakang ada wanita modis dengan rambut dicat merah, mini skirt dengan stocking hitam (stocking bahasa Indonesia atau Inggris, sih?) dan high heels yang dahsyat, ketika berbalik eh…. ternyata beliau wanita lanjut usia 😀 Kok bisa tahu? Iya itu…. make up tidak bisa menutupi usia, wrinkle-wrinkle.. Coba di Indonesia ada wanita lanjut usia semacam beliau, pasti dikuntit anak-anak, dikira pertunjukan odong-odong 😀

Itu beliau yang agak ekstrem, tapi orang-orang lanjut usia di Jepang secara umum memiliki selera seperti kaum mudanya. Toko-toko baju (bahasa kerennya apa ya, ehee..) seperti GAP atau UNIQLO setiap harinya juga dipenuhi dengan orang-orang lanjut usia. Mereka boleh pakai mini skirt, mereka boleh cat rambut, mereka boleh pakai high heels, mereka boleh pakai bulu mata palsu yang tebeeeel, mereka boleh pake nail artmereka boleh date di cafe-cafe menikmati kopi dan cake.. Di Indonesia? Orang-orang lanjut usia direkomendasikan memakai jilbab (bagi yang muslim), atau kebaya (hehe bercanda!), atau training-suit karena setiap pagi harus ikut senam lanjut usia XD, dan perbanyaklah bersedekah dan mengaji… 😀

3. Lansia tidak merepotkan

Entah, karena jumlah para lansia yang banyak, atau alasan lain, para lansia tidak di”spesial”kan lho oleh generasi muda di Jepang :p Contohnya di kereta, walaupun setiap kereta sudah disediakan priority seat tetap tidak dapat menampung semua lansia tersebut. Jadi terpaksa beberapa harus berdiri. Kondisi seperti itu tidak membuat para mudanya ngeh juga (sama, kaya di Indonesia :D) malahan saya yang blingsatan sendiri karena nggak enak duduk nyaman, sedangkan mereka harus berdiri. Seringnya saya tawari tempat duduk, beberapa harus dipaksa sebelum menerima (dengan rasa terima kasih yang berlebihan, kadang hingga membungkuk berkali-kali), yang lain bahkan menolak, gomen ne~ kata mereka.

Di Indonesia sendiri (terutama di Jawa), selepas umur 60 tahun para lansia sudah dicap oleh budaya untuk tetap tinggal di rumah, merasa harus diurus oleh anak-anak, banyak yang jatuh sakit, psikologi terganggu (karena merasa sudah tidak berguna) dan lain sebagainya. Kalau orang Indonesia melihat orang tua masih sibuk sana-sini, kita justru merasa miris, “Ini anaknya pada ke manaaaa, bapak/ibunya udah tua kaya gini, masih dibiarin sana sini”… Iya, kan?

43 hari saya di Jepang memang masih kurang untuk menganalisis, tetapi bagi saya, nyata terlihat bagaimana pemerintah memberdayakan orang-orang lanjut usia di Jepang. Fasilitas di kereta, kesempatan kerja, dll. Bisa jadi, karena Jepang membutuhkan tenaga kerja yang banyak plus kebutuhan para lansia untuk tetap bekerja sehingga membentuk pola yang seperti yang saya lihat. Tetapi…. rasa-rasanya kok beda ya, dengan apa yang terjadi di Indonesia?

Walaupun saya melihat gaya hidup para lansia di Jepang sebagai satu hal yang patut dicontoh, tetapi di sisi lain, gaya hidup para lansia di Indonesia juga ada baiknya. Melalui perbandingan kecil ini, mungkin kita bisa menemukan satu hal kecil untuk dipikirkan demi kebaikan bersama. Ya, kan?Lovely Elderly

Awalnya frase ini hanyalah sebuah informasi tentang tempat diproduksinya suatu benda. Biasanya tertulis di sisi belakang produk, ditulis dengan font kecil dan tidak pernah lebih besar dari merk produknya. Tetapi lebih sering frase ini dipakai sebagai tolok ukur kualitas suatu benda, harga, dan minat beli. Frase ini hanyalah sebuah frase sederhana, “Made in Japan”, “Made in China”, “Made in Indonesia”, “Made in USA”, “Made in Korea” dan lain sebagainya. 

Terinspirasi dari sebuah headline news di sebuah surat kabar online yang bahkan tidak saya baca namanya, saya menulis catatan ini. Dari headline itu disebutkan bahwa China sedang mengusahakan untuk merekonstruksi citra yang terbentuk dari frase “Made in China” dengan tambahan nilai kualitas. Dahsyat ya? Selama ini “Made in China” telah mendunia reputasinya sebagai produk yang kurang berkualitas, mudah rusak, murah dan tiruan dari produk-produk brand besar. Walau kesannya memang sedikit murahan, toh menurut pendapat saya, China tetap berhasil merongrong masuk ke dalam pasar dunia dan sedikit membuat khawatir pelaku pasar dari berbagai belahan dunia. Apalagi Indonesia. 

Kebalikan dari “Made in China”, sejauh yang saya tahu, “Made in Japan” diinterpretasikan sebagai kualitas nomor satu, dengan harga yang sesuai, dibuat dengan ketelitian dan jaminan awet sampai tua :D. Selama 33 hari saya tinggal di Jepang, berkumpul dan berkomunitas dengan orang2 Indonesia yang lebih senior dan berpengalaman tinggal di Jepang, ada beberapa hal yang bisa saya pelajari tentang konotasi “Made in Japan”. Bukan hanya untuk orang-orang luar negeri, tetapi juga bagi warga negara dan penduduk Jepang sendiri. 

1. Kepercayaan Orang Jepang

“Made in Japan” menjadi bermakna seperti sekarang bukan hanya karena usaha pemerintah untuk menciptakan image tersebut dan melekatkannya pada setiap produk buatan Jepang. Yang saya lihat dan saya dengar, orang-orang Jepang sendiri memberikan kepercayaan penuh kepada produk-produk hasil sendiri. Dari yang saya dengar, orang-orang Jepang lebih memilih produk Jepang untuk hampir semua kebutuhan. 

2. Standar Kualitas yang Tinggi

Dengan kepercayaan pelanggan yang tinggi terhadap produk-produknya, tentu saja setiap produsen berusaha untuk menjaga kualitas. Standar kualitas produksi di Jepang tinggi, lho. Kerapian, ketelitian, ketepatan itu terlihat dari produk-produknya yang mungkin akan susah ditemukan di negara lain. Window shopping di beberapa toko pakaian, belum pernah (walau baru 33 hari) saya temukan baju yang kelihatan dari jauh oke, tapi setelah didekati kancingnya agak miring atau benangnya kepanjangan. Dari jarak jauh atau dekat, semua baju pasti oke. 

3. Produk yang Unik dan hanya di Jepang

Yang saya lihat, Jepang gudangnya barang2 elektronik atau barang2 sehari2 yang unik, otomatis, dan hanya ada di Jepang, dan mungkin hanya Jepang yang memproduksi. Contohnya di kelas saya masih menggunakan kapur untuk menulis, tapi setiap pagi blackboard-nya selalu hitam kileng-kileng. Ternyata mereka punya mesin yang menghisap kapur sisa di penghapus, alhasil papan tulis selalu sedap untuk ditulisi, tidak seperti di Indonesia. Waktu saya bilang kepada orang sekelas (karena belum jadi teman) dari China, “di Indonesia tidak ada”, dia juga menjawab “di China juga tidak ada” 😀

Itu baru pembersih kapur untuk penghapus (halah.. susah!), masih banyak barang2 lain yang bikin bengong a la kampung. Closet otomatis yang ada suara flush buatan dan penghangat supaya pantat nggak dingin, taksi yang pintunya buka sendiri (asli!), pintu di public spaces yang hampir semuanya otomatis, dan lain-lain. Intinya adalah Jepang benar-benar memproduksi dan mengelola teknologi untuk mempermudah kehidupan dan kebutuhan mereka sendiri. Jadi memang hanya bisa mencari barang-barang yang mereka butuhkan tersebut di Jepang, “Made in Japan” 😀

Ketiga alasan itu yang saya pikir membuat orang-orang Jepang lebih menyukai barang-barang buatan sendiri. Kalau saya harus memilih, mungkin Made in China” yang ecek-ecek tapi selalu menjadi alternatif pilihan konsumen karena harganya, akan lebih bagus karena berhasil mendapatkan perhatian konsumen dunia. Nah, bagaimana supaya “Made in Indonesia” juga dikenal dunia karena keunggulannya? Itu yang harus dipikirkan bersama. 

Ini hanyalah catatan kecil selama 33 hari saya tinggal di Jepang. Mungkin setelah 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun atau sampai saya pulang ke Indonesia akan ada informasi baru untuk menambah analisis bagi catatan saya ini. 😀 

終わり – Owari

Image

(pic taken from http://blog.leffot.com/wp-content/uploads/2009/08/dsc_00071.jpg)

Ah, bicara tentang cinta antara wanita dan lelaki itu memang susah. Memahami cinta dan kemudian berusaha menjelaskannya kepada orang lain, atau orang yang dicinta tambah susah. Apalagi bagi saya yang tidak memiliki ideologi cinta dan hanya berpegang pada prinsip simpang siur, kanan-kiri, alias megal-megol. Walau begitu, entah kenapa hari ini saya kepingin banget menulis tentang cinta-cintaan dan berusaha menjelaskan dari sudut pandang saya. Ehek..!

Walau saya tidak memahami makna yang sebenarnya, saya percaya cinta sejati bukan seperti perasaan yang begitu lebay tapi menggelora sampai-sampai sang pencintanya tidak akan hidup jika ditinggalkan yang lainnya. Karena pada kenyataannya, mereka tetap hidup dan jatuh cinta lagi, dan pada saatnya akan kembali mengklaim tidak bisa hidup tanpa satu sama lainnya (lagi!).

Cinta juga tidak segampang ngomong suka lalu pacaran foya-foya. Cinta juga tidak segombal status facebook  “cemungudh eeeaaa cuuiiiinn..” atau “khaw seyluamuanyuah dee ati aqyu” 

Jadi seperti apa cinta menurut pandangan saya yang megal-megolIni dia saya rinci dalam beberapa bagian. 😀

Kata orang-orang, cinta itu tentang percaya.

Memaknai cinta sebagai bentuk kepasrahan percaya kepada yang dia cintai. Tepat? Yaaaa…. bisa jadi gitu sih yaaaa.. Tapi.. gimana ya? Kadang-kadang pengkhianatan muncul karena sang kekasih terlalu memberikan kepercayaannya.. Kalau dia lagi cemburu, senjata untuk menutup perdebatannya adalah “kalau nggak percaya, tandanya nggak cinta”. Ada lagi orang yang bilang cemburu itu bumbunya cinta. Padahal cemburu itu kan perasaan tidak aman, prasangka bahwa sang kekasih sudah menggantikan hatinya. Yang artinya cemburu itu juga tidak percaya, kan? Bolak-balik gini nih penjelasannya. 

Cinta itu urusan kepedulian

Itu menurut saya 🙂 sedalam apapun cinta seseorang kepada orang yang lain, kalau kepeduliannya terhadap orang tersebut tidak tergerak, maka bisa jadi itu bukan cinta sejati. Dalam rasa cinta yang tulus, seseorang akan benar-benar peduli. Tetapi, peduli juga tidak bisa diekspresikan pada sms, “udah makan, sayang? Jangan lupa makan ya? Nanti kamu sakit, aku jadi sedih.” yang dikirim sehari 5 kali. 

Pedulinya orang yang mencintai lebih memperhatikan apa yang dibutuhkan tanpa bersifat lebay dan hanya kata-kata. Pedulinya orang yang mencintai itu justru lebih bersifat praktik :D. Memasak untuk orang yang dicintai, melakukan sesuatu untuk membuatnya bahagia dan nyaman bersama kita, mendukung ketika dia mendapatkan masalah dan lain sebagainya. Ketika orang yang “kita pikir” kita cintai menderita dan tidak ada rasa tergegas untuk membantunya, maka jangan pernah berani mengucap cinta lagi kepadanya. 

Cinta itu perjuangan,..

Mencintai berarti memperjuangkan perasaan yang ada. Dua orang yang mencintai memang tidak akan selamanya bersama, tetapi cinta itu lekat. Ketika seseorang MAU memperjuangkan cinta, maka dia sedang mencintai. Ketika dia biarkan cinta itu lepas, maka memang dia sedang melepaskan cinta. Cinta itu perjuangan, maka mencintai seseorang memastikan kita menjadi manusia yang tidak gentar akan cobaan. Jarak yang jauh tidak akan menghentikan seseorang berjuang untuk cintanya, ketika dia percaya cintanya sejati. 

Cinta itu ledakan-ledakan kecil di hati..

Cinta harusnya menciptakan ledakan-ledakan kecil di hati. Rasa bahagia ketika bertemu, rindu kalau lama tidak bertemu, bukan perasaan yang jadi angin lalu. Ledakan emosi yang tetap muncul ketika jauh, dan mendadak mengingat orang yang dicintai. Ya, kan?

Cinta itu dewasa

Saya pikir cinta sejati itu dewasa. Lebih banyak diam, dirasakan, dicermati dan dikelola (aiiisshh.. ). Cinta sejati mungkin justru tak terumbar di media, tak semua orang tahu dan mengerti bagaimana bisa dia suka dia. 

Cinta itu setia

Seorang pencinta tidak membiarkan dirinya mendapatkan ledakan-ledakan kecil di hati dari orang selain yang dia cintai. Dengan sungguh-sungguh dia ungkapkan cinta, tapi sorenya masih cari-cari kenalan dengan teman lawan jenis dengan berbagai alasan. Hmmhh…. kalo seperti itu masih ngeyel dinamakan cinta, terserah deh yang penting bukan berdasarkan sudut pandang saya 😀

Bagi saya, cinta itu setia dan menjaga. Tidak membiarkan orang lain memberikan perasaan yang sama seperti yang ditimbulkan orang yang kita cintai. Dan ini tidak mungkin dan tidak bukan memang harus melalui penjagaan diri. Omong kosong itu orang yang bilang dia bisa menjaga diri, sedangkan dia selalu mengkerubuti teman-teman lawan jenis. 

Cinta itu setia, berarti mencintai itu menjaga perasaan orang yang kita cintai, walaupun kita tahu orang yang kita cintai tidak mengetahui usaha yang kita lakukan. 

Cinta itu tanggung jawab

Banyak penyair-penyair cinta yang mengumandangkan cinta, berpesta pada kenikmatannya, berputus asa pada nasibnya, membolehkan banyak cinta memasuki hatinya, dan hanya mengabadikannya melalui syair dan puisi tanpa berani bertanggung jawab, setia, menjaga, peduli dan berjuang. Itu bukanlah cinta. 

Terungkapnya cinta itu karena dorongan rasa dan ledakan-ledakan kecil di hati. Mencintai tidak berhenti sampai pengungkapan rasa cinta saja, tetapi keberanian untuk bertanggung jawab pada apa yang diungkapkan, kerelaan untuk setia dan berjuang dan adanya kepedulian. Tanpa itu, jangan berani-berani bilang cinta. 

 

Hehehehe itu tadi pendapat saya mengenai cinta. Bagi saya, susah mencari seseorang yang MAU benar-benar mencintai. Yang paling banyak, orang-orang mengungkapkan cinta hanya untuk menikmati getar-getar kebahagiaan, perasaan disayangi dan diperhatikan. Akan tetapi ketika datang cobaan, tidak banyak yang bertahan. 

Tetapiii… pada akhirnya saya juga harus bilang, bahwa mencintai dengan kesungguhan itu harus dilaksanakan oleh diri sendiri. Maksudnya, dengan mencintai seperti pendapat saya, tidak menjamin bahwa orang yang kita cintai akan balas mencintai kita dengan cara seperti itu… :p

Nggak paham lagi? Maksudnya, pengalaman saya membuktikan walau saya sudah berusaha berlaku mencintai dengan sungguh-sungguh, orang yang saya cintai tidak balas mencintai saya, alias.. cinta tak sampai. 

hehehehe.

 

 

 

 

 

Terlalu lama saya terkagum-kagum dengan bangsa dan negara Indonesia, secara ini adalah tempat di mana saya dilahirkan dan dibesarkan. Saya berbicara bahasa Indonesia, saya berjiwa Pancasila dan saya merasa marah ketika kedaulatan Indonesia dilecehkan.

 

Saya merasa bahwa saya benar-benar tahu segala sesuatu tentang Indonesia. Tak jarang saya menuliskan sesuatu dengan mengatasnamakan bangsa Indonesia. Saya pikir apapun pendapat saya memang benar merefleksikan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Ambil contoh: saya merasa Jawa adalah representasi Indonesia, saya menganggap bahwa kenaikan BBM tidak banyak berpengaruh dalam hidup masyarakat Indonesia (karena itu tidak banyak mempengaruhi saya), saya pikir semua orang Indonesia memiliki empati yang tinggi, dll.

 

Kenyataannya saya salah. Setelah banyak merenung dan berpikir, saya sadari saya hanyalah seekor katak Indonesia yang terkurung dalam tempurung. Bukan karena saya bodoh, tetapi karena saya mencintai bangsa Indonesia dengan buta. Anda tahu kan? Cinta buta biasanya menafikan keburukan-keburukan kekasihnya. Itu baik, memang, pada satu sisi layaknya penerimaan menyeluruh seorang pencinta kepada kekasihnya. Pada sisi yang lain adalah cinta yang sesungguhnya ketika kita mengakui keburukan tersebut dan mendorong untuk perubahan yang membangun.

 

Saya merasa menjadi orang Indonesia yang tidak tahu apa-apa tentang bangsanya. Kalau hanya saya, itu tidak masalah. Saya hanya khawatir bahwa banyak orang yang akan mengiyakan pendapat saya ini, yang berarti tidak banyak orang Indonesia yang tahu tentang bangsa dan negaranya. Kata Minke,

 

Bukan sekedar ingin tahu, terutama karena hendak membiasakan diri memperhatikan segala yang berhubungan dengan kehidupan Pribumi bangsaku, yang menyebabkan aku berjalan menuju ke situ. Dakwaan tak kenal bangsa sendiri sudah cukup menyakitkan. Dan celakanya Kommer barangkali memang benar. (Pramudya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa)

 

Kita harus benar-benar tahu tentang setiap pelosok negara kita, kalau ingin berbicara atas nama bangsa Indonesia. Kita harus benar-benar melihat, membuka mata pada keseharian yang tampaknya teralihkan oleh facebook, twitter, dan sms.

 

Saya akan menjadi manusia egois dan sombong ketika saya mengupdate status di facebook, “Ngapain sih pada bingung? BBM naik nggak tinggi-tinggi banget kok!” nyatanya saya menikmati berkendara dengan mobil pribadi. Bodoh sekali saya membatin, “dasar pengamen malas! Maunya minta-minta aja..” tanpa ada dasar yang jelas mengapa fenomena pengamen dan peminta-minta semerbak di Indonesia.

 

Harus diakui, bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang bodoh. Banyak dari kita adalah orang-orang dengan pendidikan tinggi, akan tetapi sayangnya kita tidak benar-benar “terdidik”. Selama ini pendidikan dan ilmu yang dimiliki hanya mengendap di kepala sebagai teori-teori tanpa mampu untuk diaplikasikan. Bagi saya terdidiknya seseorang tidak hanya dilihat dari banyaknya teori yang dimiliki atau seberapa banyak angka yang tercantum dibelakang titel Sarjana. Orang yang terdidik akan terlihat dari cara pandang (berpikir), cara berperilaku dan cara berbicara. Dari hal-hal yang akan saya kemukakan di bawah ini adalah beberapa aspek-aspek yang melintas di benak saya sebagai pengaruh “ketidakterdidikan” masyarakat Indonesia.

 

  1. Infotainment dan budaya berpikir masyarakat Indonesia

 

Rakyat Indonesia bukanlah bangsa terdidik ketika hampir 2 – 3 jam waktunya dalam sehari dihabiskan di depan TV, menyaksikan infotainment. Mari bersikap jujur, apa manfaat dari info-info yang ditampilkan oleh program infotainment? Secara nyata, kehidupan sehari-hari bagi rakyat Indonesia sudah cukup berat. Kenapa banyak orang Indonesia yang lebih memilih menambah masalah dengan memikirkan masalah orang lain?

 

Waktu luang seharusnya tidak dimanfaatkan untuk “mengetahui” info-info tidak penting dari orang lain. Rakyat Indonesia begitu hafal tentang silsilah keluarga Sungkar, siapa menikah dengan siapa atau siapa bercerai, siapa punya anak dan hal-hal yang sama sekali tidak penting bagi kehidupan rakyat Indonesia. Tidak pernah terbesit dalam pikiran rakyat Indonesia bahwa dengan menghapal dan mengetahui info tentang selebritis tidak akan memberikan timbal balik ilmu dan uang 😀

 

Mari kita bersenang-senang membayangkan rakyat Indonesia yang terdidik. Rakyat Indonesia yang menghabiskan waktu luang di depan buku-buku sastra. Rakyat Indonesia yang memenuhi toko buku tidak hanya pada masa kenaikan kelas (ya! Mereka ke toko buku hanya untuk membeli buku-buku tulis, stationary atau kamus). Rakyat Indonesia yang memakmurkan toko-toko buku bekas. Rakyat Indonesia yang membawa-bawa buku bacaan ke Taman Kota atau ketika menunggu sesuatu. Rakyat Indonesia yang membaca di sudut alun-alun kota alih-alih ngobrol ngalor ngidul. Menarik ya? Bisakah kita mewujudkannya?

 

  • Empati masyarakat kurang
  •  

    Menurut saya, Empati bisa jadi adalah hal yang menjadi dasar bagi terbentuknya masyarakat yang baik. Empati yang saya tahu adalah kemampuan seseorang untuk mendefinisikan emosinya sendiri dan orang lain. Kemampuan untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain. Orang yang melakukan kejahatan atau merugikan orang lain adalah orang yang tidak mampu berempati. Penjahat membunuh orang, perampok mencuri barang orang, koruptor menghabisi uang rakyat, suami mengkhianati istri, adalah orang-orang yang tidak mampu membayangkan ruginya, sedihnya orang-orang yang menjadi objek perilaku mereka.

     

    Nah, disinilah letak kelemahan besar bangsa Indonesia yang kurang mampu berempati terhadap kondisi orang lain. Masyarakat Indonesia membuang sampah di sembarang tempat adalah hal yang wajar, bukan? Sering saya membayangkan memiliki keberanian untuk mengambil sampah yang dibuang di jalan oleh seorang ibu-ibu muda yang cantik, kemudian memasukkan ke dalam tas tangannya. Saya yakin ibu-ibu tersebut pasti marah total. Padahal konsepnya sama saja. Si ibu membuang di wilayah milik orang lain, tetapi naik pitam ketika wilayahnya sendiri dijadikan tempat buang sampah.

     

    Masyarakat Indonesia tidak mampu berbaris. Wajar kan? J Kita tidak mampu berpikir orang yang datang terlambat haruslah mendapatkan pelayanan yang terakhir pula. Tetapi tidak banyak dari kita yang mampu berpikir secara melingkar. Kita maunya cepat-cepat, padahal ketika dipikirkan dengan logis, kita memburu-buru itu bukan untuk apa-apa. Hanya ego saja. Mari bersikap jujur, sehabis kita nyelonong-nyelonong antrian, setelah kita membabi-buta melanggar lampu merah, apa yang kita lakukan? Apakah kita terburu-buru karena kita harus segera belajar? Membaca buku? Beribadah?

     

    Tidak, kan? Setelah kita berhasil nyelonong-nyelonong paling banter kita hanya tidur, atau balik ke atas: nonton infotainment.

     

    Bus umum berasap, wajar kan? Tidak wajar kalau keseharian kita menggunakan mobil pribadi atau pesawat, atau bus eksekutif. Wajar kalau kita sempatkan diri menggunakan bus bobrok di terminal-terminal umum. Berasapnya bus tersebut karena banyaknya penumpang, bahkan sopir yang merokok tanpa ampun. Mereka tidak mampu berpikir apa yang dengan santai mereka lakukan akan membahayakan orang lain.

     

    Butuh proses administrasi di kantor publik, kemudian di ping-pong karena petugas tidak memiliki informasi yang cukup tentang hal yang kita minta. Biasa juga kan di Indonesia?

     

    Demonstrasi dengan merusak fasilitas umum, wajar juga ya? Bahkan terkadang sampai melukai orang-orang yang berlalu-lalang. Mahasiswa dan demonstran tidak mampu berpikir, seandainya orang yang paling mereka cintailah yang terluka oleh sifat merusak mereka, lalu bagaimana?

     

    Korupsi dan pungli, aaahhh.. yang ini biasa juga di Indonesia. Kita hanya tidak mampu berpikir!!

     

     

  • Daya “sok tahu” yang terlalu tinggi
  •  

    Saya dengan yakin merasa bahwa demokrasi di Indonesia tidak diimbangi dengan pendidikan berdemokrasi itu sendiri. Masyarakat memiliki hak “berbicara” tapi mereka tidak mengetahui untuk apa mereka berbicara. Semata-mata mereka “berbicara” karena ada sesuatu yang merugikannya, yang tidak sesuai dengan pendapatnya.

     

    Payah sekali bukan? Bagaimana bisa seseorang yang tidak pernah belajar tentang ekonomi atau mahasiswa yang aktif berorganisasi (tetapi kurang ilmu) mengkritik atau merendahkan kebijakan ekonomi seorang ahli?

     

    Seringkan kita lihat, orang-orang sibuk bertelepon sambil mengisi bensin? Padahal jelas tertera tanda dilarang mengaktifkan hp ketika mengisi tangki bensin. Ketika orang-orang tersebut diberikan pertanyaan, “masnya ahli gas dan teknologi ya?” dan jawaban mereka pasti “bukan”. Kalau bukan ahlinya, kenapa kita sok tahu untuk melanggar aturan?

     

    Kalau “sok tahu”nya orang Indonesia dibiarkan dengan bebas, suatu ketika akan tiba saat ketika penumpang pesawat terbang (dengan titel Sarjana Sastra) yang mendobrak pintu kabin pilot dan mennggoblokkan pilot karena pesawat mengalami turbulensi. Tau apa sih kita?

     

    Mari kita jujur, kita berpendidikan tapi kita tidak terdidik. Jangan menjadi manusia Indonesia yang angkuh dan tidak mengakui hal-hal wajar yang saya kemukakan di atas. Jangan pula menunjuk kesalahan pada pihak lain. Mari kita jujur, mari kita benahi diri kita. Mencontoh negara lain? Malaysia misalnya? Kenapa tidak? Kenapa harus sok sombong dan dipenuhi angkara? Mari kita jujur, Malaysia lebih baik daripada Indonesia dalam beberapa aspek. Janganlah malu merendahkan diri untuk belajar hal-hal yang bermanfaat dari negara lain.

     

    Saya tahu, tulisan saya akan menjadi angan-angan belaka kalau tidak banyak orang yang menyetujui pendapat saya. Tetapi saya yakin, diluar sana, ada beberapa saudara sebangsa dan setanah air yang berpikiran sama dengan saya dan memiliki tekad yang lebih kuat dari saya untuk membangun bangsa ini. Jadi izinkan saya membayangkan Indonesia menjadi bangsa yang ramah-tamah, berpendidikan dan memiliki moral dan empati yang tinggi. Bisakah itu terjadi? J

     

    Mari kita kenali bangsa kita.

     

     

     

    (disclaimer: aspek-aspek yang tersebut di atas hanyalah beberapa aspek yang terlintas di benak penulis. Tidak mutlak)

     

    I have been working in International Office of a university since the late of 2008 but this is my first time facing a situation where overseas students, those filling up my works and agendas, become a massive talk in the city. 2012-2013 were a stake moment the city was filled by overseas students coming from x country. I would not say that im complaining about them here in the words, but i have to admit that, yes, i have faced a difficult times managing their studies in the university. Yet, i also gain skills, self-control and a strong self-confidence by facing their stubborn characteristics so i couldn’t be grateful enough.

    Why would i fill my blog with a crap talking about them? (Though if you track back my writings almost all of them are crap!! :P). Last Saturday, i was happened to have a talk with a taxi driver. It’s not the first time and it’s not an awkward moment to find taxi drivers comfortably talk to the passengers here in the city. But, what makes the talks itself pushed me to write this.

    He, the taxi driver, noticed that i work in the university and that specifically my jobs relate to overseas students. He mentioned that he had several times picked students coming from the x country up. My bell suddenly rang. Why would he mention x country? What happens? He said, “They were just reckless and they did not want to pay the minimum payment for the taxi. They just did not want to understand. Gas price increased and they did not want to understand the new rule of my company. We have a minimum payment. They paid only what the taximeter shows. Just imagine, they called me for example to pick them up in 10 km whilst i have to drop them within 4 km and they insist to pay only from what the taximeter shows”. But he just didn’t want to make a fuss. He always let them go.

    Ugh.. I felt so sorry that he did not put a fight to make them understand, or at least yell at them instead of excusing them as foreigners!! They are foreigners, we respect them and tolerate them whenever they do mistake because they don’t know how does everything work in others’ land. I love the way my people tolerate the foreigners  but this way is too much. It will not educate them. They are guests, we welcome them. However, they cannot forcefully change the color of our wall excusing that they don’t have it in their own country. It’s sad.

    Wait, im not boosting up. This kind of complaints was not the first one. I have had the same situations with taxi drivers who have experiences in picking up students from x country. I have also been in a hospital processing something for one of them, before i finished mentioning the name of the student all people in the information desk recognized whom i meant. They even jokingly wished that no one of the people from x country would enter the hospital again because they just don’t want to bear the difficulties the students put them into. Woopss.. at least, that’s a good wish 😀

    Still, i haven’t counted complaints from many neighborhoods saying that they are like this and like that. It is a massive talk around the city. Seriously? It is not a good thing for the people here. I feel like my people warmth and kindness and toleration were being taken advantages by reckless foreigners. What i think is that foreigners everywhere must give good effects to the native, to the country they are in. They are not only expected to be able to lift up country’s financial condition but also value to what exists there.

    I don’t mean to make them a city clown. But, this kind of situation must end. They have to behave respectfully to my motherland, to the rules we put in. No matter how great, wealthy, and victorious the culture they are coming from, they have to respect the culture they are in. At least, if they don’t want to learn the language to know the condition in Indonesia, they have to learn how things work here. Get used to it, if they cant, just go home.

    It’s simple. The choice is on their hands. It’s not my people and our rules complicate their lives here. It’s their own decision. They can just go home rather than come to me or Indonesian people nagging with questions (while they are smirking):

    1. Why does your country have such a complicated visa unlike my country? (please, you don’t need a visa in your own country:D)

    2. Why don’t people in your country put price labels on things they sell unlike my country? (if you are worried of being cheated you can just move to the modern supermarket 😀 or…. you want to help them stick the price labels?)

    3. Why do your country have two conflicted celebration days for Islamic Great Day unlike my country? (Geez…)

    4. Why does your country have such fucking weird rules unlike my country? (why does your country have such a fucking weird person like you?)

    5. Why don’t your people have this kind of toilets unlike my country? (why do you have to go to our kind of toilets?)

    6. Why don’t your people have these kind of foods unlike my country? (oh? do you eat?)

    7. Why can’t your people speak English unlike my country? (last time the name of my country was Indonesia, not the United States, i think that explains)

    If they aren’t satisfied with my answers, they can just pack their bag and go home. Im sure they will finally get everything served as they wish.”

    😀

    5 orang awak yang sudah dari oroknya rempong. Bekerja di kantor yang sama. Kantor yang mengurusi hal-hal asing, tapi anehnya belum semua awak sudah menjajaki tanah asing. Hampir tidak memiliki pengalaman backpacker tapi mencoba memberanikan diri untuk terjun payung ke jalan. Dan tujuan pertama kali ini adalah Bali, rute utara.

    Dan bagaimana bisa saya menahan diri untuk tidak menuliskan kisah campur aduk di travel report kali ini? Kombinasi kebodohan dan ketidakdisiplinan sekaligus kekurangan pengalaman kami tampaknya yang menyemarakkan perjalanan ke Bali. Bukan semata-mata pulaunya yang mempesona, tetapi keberadaan kami juga membuatnya menjadi kenangan yang indah.

    Rempong! Beberapa jam sebelum keberangkatan, kami sudah sepakat menyebut diri kami sebagai grup rempong. Lima orang udik, yang hanya berbekal nyali berusaha merencanakan liburan bersama. Pesan tiket mendadak, berangkat langsung setelah jam pulang dari kantor, membawa harta benda yang sangat banyak, bekal di kemudian hari yang berjibun (karena ketakutan akan kelaparan di jalan), dan bekal pinjaman uang dari sana-sini, itulah karakteristik kami. Tiket bis malam berangkat jam 4.00 sore, tapi pada jam yang sama kami masih di kantor, sibuk menelpon taksi yang tak kunjung datang. Alhasil agen yang baik hati pun ikut menjadi target telepon gelap kami.

     “mas kami ditunggu yaaa.. Jangan ditinggal..”  ahhhh, kalimat-kalimat itu meluncur dari bibir kami. Saya yang biasanya enjoy aja pergi sendirian, mendadak nerves. Buntu! Taksi tidak ada satupun yang muncul, teman-teman terdekatlah yang kami mintai pembalasan budi (karena kami sudah merasa memberi kebaikan kepada mereka, jadi ditagih deh budinya..). Setelah kerempongan itu usai, baru kami sadar the bus is coming late too!

    Okee.. Di bis semuanya lancar, kami sudah tidak begitu rempong, kecuali waktu bis berhenti untuk makan malam. Kalau tidak salah di Madiun. Mungkin kami terbiasa pergi dengan keluarga dan teman-teman saja, jadi merasa jamnya fleksibel. Saat bis sudah akan berangkat lagi, pak kondektur yang baik terpaksa panggil-panggil beberapa dari kami yang masih shalat, yah…. Wajar.

    Blah-blah-blah, acara di bis semua baik-baik saja. “Paling-paling sampai di Bali sekitar jam 11 siang” kata Bison teman kami yang merasa sudah sering ke Bali dengan bis umum. Okelah, kami sudah siap. Tapi kami lupa, weekend itu libur panjang bagi seluruh nusa dan bangsa. Herannya, entah kenapa semua orang Indonesia pergi ke Bali minggu itu. Yang diperkirakan, kami sampai pukul 11 siang, molor hingga pukul 4 sore.. Wow! Tapi keceriaan kami meringankan beban perjalanan itu.. Salah satu kunci sukses kami.

    Terminal Pesiapan, Tabanan. Tempat pemberhentian kami, menuju rumah Bulik Tutik di Sanggulan. Hehehe numpaang.. Sampai di rumah, waduuuuhhh… sambutan yang luar biasa dari keluarga Bulik sungguh mengharukan makanannya banyaaaaaaakkk, anjing Bulik juga banyak ;D sahut menyahut menggonggongi kami manusia rempong. Yalah nggak apa-apa, kami sudah sangat merepotkan bulik, sudah seharusnya para anjing-anjing menggonggong kepada kami karena illfeel.. Makanan yang patut dicoba, yang beda dengan di Jawa: plecing. Isinya mirip dengan Plecing Jawa, hanya bumbunya yang beda. Yang lainnya sudah familiar dengan lidah kami. Maklum bulik dari Blora.

    Malamnya, kami mengepung kamar satu-satunya cowok yang ada di rombongan kami. Bulik memanggilnya Robert. Jadi ceritanya kami curhat-curhatan, tentang “seseorang” dan seperti biasa ketika berbicara tentang seseorang, dia yang tercinta selalu hadir dalam hati saya, walau perih………

    Malahan jadi curcol..

    Jadwal kami memang nggak padat, paginya Pak Bos berjanji menjemput kami pukul 8.30. Sehabis subuhan, saya, teman saya yang sering dipanggil Tacik 1, adeknya tacik 1 dan bulik pergi ke pasar. Niatnya mau beli oleh2. Sekalian mau lihat daging babi, heeee… kampungan banget ya? Di Solo jarang ada babi sih. Oh, ya bulik juga beli banten, sesembahan yang dipakai untuk sembahyang Kadek, anak Bulik.

    Priiiiiiitttt…. Jam 9.30, akhirnya Pak Bos datang dengan Pak Made, sopir dari Bali. Pulau Menjangan jadi tujuan pertama. Sipppp.. Jalan berkelok-kelok menuju Bedugul, kemudian ke Utara melewati daerah-daerah yang saya lupa namanya (parah!!!), setelah 4 jam kami lalui, sampailah di Labuhan Lalang. Dari situ kami naik boat selama 30 menit ke pulau yang agak kering kerontang, Pulau Menjangan. Ada menjangannya?? Ada benar-benar lho.. Tapi Menjangannya nggak bisa snorkeling.

    Bedanya tempat ini dengan Karimunjawa? Di Karimunjawa, spot-spot untuk snorkeling sudah lebih terorganisir, dan biasanya turis dilempar ke laut. Yang ini kami di lepas di pantai, sempat agak menyesal.. “Lho, kok Cuma disini?” sambil tengak-tengok, soalnya air Cuma setinggi pinggang atau dada. Tapi ternyata ketika berenang agak di tengah, ada palung yang menakjubkan kok..

    Hee, pertama snorkeling sempat ada adegan penyelamatan yang tragis. Tacik 1, Tacik 2 dan Adek Tacik 1 baru sekali ini mencoba snorkeling. Waktu melompat ke air, rata-rata mereka kesulitan berdiri dengan kaki katak, oke semuanya baik-baik saja. Namun keadaan agak mencekam ketika itu satu persatu dari kami terjebak di pojokan karang yang ombaknya menyeret kami dengan kuat. Adegan tolong menolong pertama terjadi pada tacik 2 yang terjebak lebih dulu. Tapi tacik 2 ini begitu tenang terombang-ambing ombak, tanpa melakukan kecipak-kecipuk tangan dan kaki di air (tanda orang akan tenggelam). Ketika saya tanya bagaimana dia bisa begitu tenang menghadapi itu, tacik 2 santai menjawab, “terus saya bisa ngapain? Wong saya nggak bisa berenang.”

    Tacik 2 sukses ditolong oleh guide lokal. Ketenangan tacik 2 membuat robert dan tacik 1 salah paham. Robert dan tacik 1 pikir di pojokan karang itu tempat yang mengasyikan karena tacik 2 terombang-ambing dengan syahdu. Pergulatan tolong menolong tidak begitu ketat karena setelah itu Robert sang penyelamat berhasil menarik tacik 1 ke tepian yang agak tenang. Upss… adek tacik 1 ternyata menuju ke arah yang sama tempat beberapa korban telah terjebak.  Adek tacik 1 tampak semakin panik ketika dia bahkan tidak bisa menguasai kaki kataknya. Saya orang yang terdekat dengan adek tacik 1 ikut merasa khawatir juga, makanya pelan-pelan saya mendekati dan menyemangati adek tacik 1 supaya dia bisa berdiri dengan gagah melawan arus yang semakin kuat.

    Pada awalnya saya masih bisa membantu adek tacik 1 berjuang melawan ombak, saya dengan tekun meneriaki adek tacik 1, “berdiri Tiiii…, berdiriii… Jangan pegangan akuuu!!!! Kamu nggak akan tenggelam!!” demikian saya terus berteriak supaya dia tidak panik. Lalu dengan keanggunan seorang perenang amatir, saya meraih adek. Saya berusaha menarik tubuh adek yang memakai safety jacket itu. Sambil berteriak-teriak saya mencoba menendang-nendang air, tapi karena panik, saya yang sangat menyukai snorkeling ini akhirnya ikut berkecipak secara gugup di dalam air. Bayangkan saya disana, pakai kaki katak, melawan ombak yang kuat, menarik adek, berusaha berjalan dengan GAYA KATAK… sumpe lo??? Maklumlah, saya semakin diliputi panik karena kami semakin lama tidak mengalami kemajuan..

    Air mulai memasuki masker saya, saya tambah bingung, sedangkan kami lama-lama mulai terseret jauh.. Tanpa pikir panjang, langsung saya tarik masker, air pun berlimpah-limpah menerjang hidung dan mata saya. Tidak bisa bergerak. Saya berusaha menjejak kaki saya, dan menahan supaya saya dan adek tidak terseret, tapi gagal total. Ombak terlalu kuat!! Saya sudah kacau balau, jilbab saya sudah morat-marit ke sana-sini, tapi dengan setia saya selalu mengingatkan adek, “kamu nggak akan tenggelaaam, aku yang mungkin tenggelam.. ” karena posisi saya tidak memakai safety jacket. Jadi memang justru sayalah yang kemungkinannya membahayakan.

    Ketika keadaan semakin genting, saya hanya berpikir, toh… kalau terseret ombak, saya dan adek nggak akan tenggelam kok, paling lecet-lecet nubruk karang. Kalau matipun, saya mungkin sudah tidak bisa bertanya kepada diri sendiri, “siap atau tidak?”.. Wallahu alam, dalam hati saya berpikir. Di kejauhan sana, guide kami, Pak Made sibuk berteriak-teriak kepada kami..

    “Itu..itu lihaaat.. Menjangannya turun ke pantai!!! Hooiii… itu lhoo!! Menjangannya minum air laut di pantaaaaaiiii….!!!!!!!!”

    -bersambung-